Sindiran Intelektual


Melamar malam bersama cerita hidup.
Aku menunggu rasa berani. Itu percuma. Rasa berani kukira hanya datang ketika memutuskan sesuatu untuk diambil, untuk dijalankan, dan untuk mengecam ketakutan diri sendiri. Seperti manusia-manusia sampah yang seringkali menganggap diri yang paling benar dan untuk kebenarannya darah yang bertentangan halal.
Kekerasan demi kekerasan muncul bersama keyakinan-keyakinan baru yang keras. Keras dan tnpa otak. Mereka memeras dan menyebut nama Tuhan dengan kerasnya. Tanpa rasa malu. Kekuasaan di belakang mereka hampa tak terlihat. Mereka senang ketika ada yang berdarah dan darah itu bertentangan dengan mereka. Sampah.
Tersebutlah di negeri yang bernama Indonesia. Negeri yang presiden pertamanya adalah Soekarno dan melahirkan banyak orang-orang intelek yang keras secara pemikiran, ya mereka menggunakan otak. Negeri ini diperas terus menerus, hingga sekarang. Mungkin aku bkan orang pertama yang berkata dengan kalimat ini, tapi sekali lagi aku adalah salah satu bagian yang kecewa dan gelisah melihat keadaan ini.
Saya tak sekuat orang-orang parpol, tak sepintar Einstein dan tak semilitan Ahmad Wahib. Namun melihat semua ini tak harusnya saya diam. Bersama malam-malam aku masuk dalam jejeran pelawan. Barisan pemberontak kata dan menolak lupa. Pahlawan ini bukan individu dan bukan kolektif. Ada keadaan yang kemudian menimbulkan kemenangan dan kekalahan: Pengetahuan dan kekuasaan.
Bagaimana kemudian Pancasila yang digadang-gadang oleh pendiri bangsa ini mampu terwujud? jauh. Pendidikan tak mampu berjalan secara ideologis. Jalanan penuh dengan baliho yang beriklan dan guru-guru sibuk mencari sampingan. Para pengemis tetap mengemis, para gelandangan tetap menggelandang dan para pengamen tetap berbahagia dengan nyanyian mereka. Namun aku kira tak pantas melihat anak balita berjalan-jalan dan meminta-minta di lampu merah. Menghisap polusi yang mematikan dan menciptakanmindset rantai makanan sendiri: Lampu merah, uang dan makan.
Buat apa para mahasiswa, para demonstran, para FPI yang menjual nama Tuhan, para orang-orang yang melawan terus berteriak. Sementara tak ada yang berubah. Pengemis tetap mengemis dan gelandangan tetap menggelandang.
Sambil mengipas sate yang dijualbelikan di sebuah wilayah di depan benteng vredeburg, seorang ibu menjajakan barang dagangannya: sate. Pengamen dengan kontra bass yangdibawa kemana-mana, mereka bilang mereka Punk.Cahaya kuning lampu jalan menemani perubahan warna pada lampu merah. Di titik nol semua itu terjadi.
Buat apa kemudian terikan-teriakan yang sering disuarakan di Titik nol kilometer tersebut. Adakah perubahan yang terwujud? atau mereka hanya onani?  Entahlah. Dengan tak melihat kepayahan-kepayahan orang-orang yang mereka perjuangkan, masih saja ada yang meributkan perbedaan agama, suku dan ras. Kita ini Indonesia. Sudahlah. Apa untungnya kita meributkan mana ideologi yang benar dengan memaksa.
Angin malam yan menggigilkan. Hari gerimis. Aku berpindah kesebuah meja berukuran 2×2. Bersama kopi susu dan banyak kepulan asap. memikirkan masa depan sembari memikirkan masa depan orang banyak. Meski tak ada yang peduli tapi aku peduli. Salah bila aku mau berbagi? Berbagi dengan idealisme-idealisme sembari menyambung hidup. Namun lebh banyak yang egois ketimbang berbagi.
Bukankah yang lebih penting bagaimana kehidupan bersama kita lebih baik dibanding mendebat mana keyakinan yang lebih benar. Bukankah lebih penting meningkatkan kesejahteraan daripada menghancurkan dan menghambat orang yang berbeda keyakinan. Apakah kita diadu domba untuk lupa kalau kita juga sedang diperas oleh pihak lain? Entahlah.
Perbedaan ada agar kita saling mengenal. Bukan saling membunuh atau saling curiga. Untuk apa kita sekolah memperkuat kapasitas otak kalau toh akhirnya kita tak memakai otak dalam dunia sehari-hari. Salah sedikit pukul, bertanya sedikit dibilang sesat atau tak mau berpikir yang berat-berat atau apa. Jangan-jangan ini keadaan kritis, atau keadaan mendekati era mindlesness. Era dimana kemampuan berpikir diremehkan. Era dimana jahiliyah akan terulang lagi.
Ada yang membenci secara artifisial atau terprovokasi, ada yang membela tanpa tahu alasannya, ada yang ikut-ikutan memukul orang. Pada akhirnya kita hanya saling bunuh dan makin banyak yang memanfaatkan waktu ini. Hal ini akan terus terjadi jika para pemimpin, para guru, para orang-orang yang terus saja menampakkan diri di publik lupa akan tugasnya. Para guru yang menjadi perpanjangan tangan ideologi bangsa terus disibukkan mencari tambahan uang, para pimpinan sibk mencari proyek banyak orang yang membutuhkan pekerjaan dan pekerjaan. Apakah ini tak dianggap penting oleh orang-orang yang membunuh atas nama Tuhan itu? Siapa mereka sehingga berani-beraninya mengaku dekat dengan Tuhan.
Seorang pelacur dipukuli dan diusir dari desa-desa, para pemuda terus saja konsumtif terhadap produk-produk, anak-anak mengemis di jalanan. Salahkah mereka? Tambah lagi waria yang berada dimana-mana. Mereka hanya ingin mengisi perut mereka dan mempertahankan hidup. Hanya karena sistem yang menekan mereka dan keadaan sosial yang tak berpihak mereka harus menjadi bahan cacian.
Pernah ada seorang waria yang berbicara dalam satu forum. Ia menyatakan tentang sulitnya bagi mereka untuk mendapatkan kerja. “piiran orang bahwa waria itu hanya patut kerja di salon atau mengamen di pinggir jalan, padahal bagian dari kami pun mampu bekerja di bengkel atau di tempat lainnya,” kata waria tersebut.
Ada pula seorang ibu yang mencari makan dan uang sekolah anak-anaknya lewat melacur. Ia ditinggal suaminya dan sampai beberapa anaknya bisa lulus kuliah, ibu tersebut tak membuka rahasia bagaimana ia mampu membiayai anaknya. Ironis. Mungkin kita yang sekolah atau anda-anda yang berpendidikan tinggi bisa bilang begini
“kenapa nggak berpikir lebih keras untuk dapat penghasilan yang lebih halal?”
Tapi ibu itu buan seperti anda. Ia adalah salah satu korban yang cemas akan keadaan. Korban keadaan yang memaksanya untuk menjual diri. Sempitnya lapangan pekerjaan dan banyaknya orang yang semakin tak peduli degan kehidupan sesama salah satu penyebabnya juga. Bayangkan seorang kaya yang berada dilingkungan itu lebih memilih menanam saham di sebuah perusahaan besar dibanding membuka peluang kerja di lingkungannya. Seperti memberikan modal pada tetangganya atau cara lain yang mampu mengangkat kesejahteraan bersama.
Ah sudahlah. Mungkin banyak yang lebih peduli membuat diri sendiri nyaman dibanding memikirkan orang lain dan ebaikan bersama. Kita sudah susah tambah susah memikirkan orang lain, mindset yang terbangun sedemikian rupa dalam masyarakat.
Malam semakin dingin dan seingkali menjadi penghujan. Pengemis yang tidur di emperan toko semakin menggigil, anak-anak yang mereka selimuti semakin sesak paru-parunya, sementara itu dalam ruang-ruang yang tak kita ketahui masih saja ada orang-orang yang berpikir untuk menyingirkan ideologi ini atau ideologi itu. Sepertinya kita dilarang untuk belajar banyak demi keharmonisan.
Jikalau anda berada di Yogyakarta adakah pernah dengar tentang perkumpulan anti-komunis? Mereka pun salah satu orang-orang yang tak berpikir kesejahteraan masyarakat. Pikir saya. Kita belum berada dalam tataran pembunuhan-pembunuhan ideologi. Tahu Bhineka Tuggal Ika?  Saya kira akan banyak yang sekedar menganggap itu hanya sebatas jargon di kaki Garuda Pancasila. Siapa yang bisa bilang kalau seseorang akan benar secara mutlak?
Perbaikan di sektor kaderisasi guru setidaknya perlu perbaikan serius. Tak hanya tentang bagaimana cara menumbuhkan potensi dari peserta didik, tapi juga bagaimana pradadigma peserta didik itu juga Bhineka Tunggal Ika. Penting? Untuk jangka panjang saya pikir itu penting. Kecuali jikalau anda seorang psikopat yang haus akan kerusuhan-kerusuhan antar etnis agama atau identitas-identitas lainnya.
Saya lupa kalau pernah ditanamkan Bhineka Tunggal Ika. Bahkan mungkin tak pernah diajarkan? Saya lupa. Melupa seiring dengan kebutuhan-kebutuhan yng terkadang dibuat-buat.
Bisakah berbagai suku bersatu menuntut perubahan di area pendidikan pada pemerintahan? atau bisakah para aktivis tak lagi mengeluhkan bagaimana apatisnya masyarakat terhadap himbauan mereka dan mencari metodologi yag lebih pas? Bisakah? Bisakah?Bisakah?
Bersama malam dan kegigilan ini banyak doa yang naik dan banyak serapah menjalar. Kitamanusia dan mereka manusia. Namun apa guna saya menulis ini jikalau tak ada manfaatnya. Entahlah. Malam bersama mendungnya tetap tak terlihat jelas. Tidur sejenak melepas kerusuhan perasaan. Selamat malam sampah-sampah kota. Sampah-sampah bertopengkan medali emas dan tulisan “benar”.


penulis.JW

Belum ada Komentar untuk "Sindiran Intelektual"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel